Thursday, February 4, 2010

Isi UU tentang Penodaan dan Penistaan Agama yang Di-Judicial Review

Keinginan Uji Materi (Judicial Review) Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 -- membahas tentang penistaan dan penodaan agama -- memang mengundang pro dan kontra.

Sebagaimana diketahui, tiga bulan yang lalu, tujuh lembaga swadaya masyarakat dan empat tokoh nasional meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan larangan penafsiran agama-agama yang dianut di Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ketentuan tersebut dinilai melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi.
Ketujuh LSM itu adalah Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Mereka didukung oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan KH Maman Imanul Haq.

Mereka mempersoalkan ketentuan dalam Pasal 1 UU tersebut yang berbunyi, ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatannya”.

Selain itu, pemohon juga mempersoalkan Pasal 2 Ayat (1) dan (2), Pasal 3, serta Pasal 4a yang mengatur ancaman pidana atas pelanggaran Pasal 1. Disebutkan, pelanggaran pidana diancam dengan hukuman penjara maksimal lima tahun.

Melanggar kebebasan
Kuasa hukum pemohon, Choirul Anam, menjelaskan, ketentuan tersebut jelas-jelas melanggar kebebasan memeluk agama dan keyakinan yang dijamin konstitusi. Pasal 1 UU itu menyebutkan secara jelas agama yang dimaksud adalah agama yang dianut di Indonesia. Pada bagian penjelasan Pasal 1 disebutkan, agama yang dianut ada enam (Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu). Ditambah lagi lima, di antaranya Sinto, Yahudi, dan Taoism, sehingga total berjumlah 11.
”Kami menilai, pembatasan ini melanggar kebebasan dan diskriminatif,” ujar Choirul.
Ia juga mempersoalkan pembatasan tafsir yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1.

Menurut dia, tafsir agama seharusnya tidak boleh dibatasi. Tafsir agama seharusnya dikembalikan kepada komunitas pemeluk agama yang bersangkutan. Apabila tafsir dikembalikan kepada komunitasnya, hal itu tidak akan menimbulkan persoalan yang besar.

Sementara itu, Ketua Majelis Hakim Arsyad Sanusi meminta para pemohon memerhatikan betul permohonan mereka. ”Ini masalah hak asasi manusia, lebih-lebih ini masalah keyakinan,” kata Arsyad.
Menurut dia, esensi Pasal 1 UU tersebut sebenarnya adalah larangan membuat tafsir dan melakukan kegiatan yang menyimpang.

Kontra Judicial Review
Namun, banyak pihak tidak setuju dengan judicial review atas Undang-undang ini. Antara lain: Menteri Agama, Menkumham, Muhammadiyah, NU, HTI dan lain-lain.
Pemerintah, melalui menteri agama meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi UU No 5/1965 tentang penodaan/penistaan agama. Jika UU ini dihapus maka seseorang dapat menistakan agama tanpa bisa dipidana.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah secara tegas menolak judicial review peraturan perundangan mengenai penistaan dan atau penodaan agama oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, jika Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 itu jadi diubah, maka akan sangat berpotensi memicu konflik yang lebih besar bagi kehidupan beragama di Indonesia.
Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Patrialis Akbar setuju adanya UU No 5/1969 tentang Pencegahan Penodaan/Penistaan Agama. Menurutnya, bila tidak ada UU ini, yang akan terjadi adalah gejolak dan konflik horizontal di dalam masyarakat.

No comments:

Post a Comment